Selasa, 13 November 2012

Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu


Hepta Jayawardana
Pendidikan Sains-PPS UNY

     Ilmu
Apa sih ilmu itu? Seberapa penting ilmu itu, sehingga ilmu itu penting untuk dicari bagaimana proses mendapatkanya? Serta untuk apa ilmu itu?

1.      Ontologi Ilmu
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Ontologi membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).

Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi, ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan (Suparlan Suhartono, 2007).

Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa “ontology is the theory of being qua being”, artinya ontologi adalah teori tentang wujud.

Hal senada juga dilontarkan oleh Jujun Suriasumantri (2000: 34 – 35), bahwa ontologi membahas apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologis dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi obyek penelaahan ilmu. Berdasarkan obyek yang telah ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris, karena obyeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Berlainan dengan agama dan bentuk-bentuk pengetahuan lain, ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian-kejadian yang bersifat empiris, selalu berorientasi terhadap dunia empiris.

Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang ) “ada” itu (being, sein, het zijn). Paham monism yang terpecah menjadi idealism atau spiritualisme, paham dualism, pluralism dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan keyakinan kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada” sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.

Ontologi membahas tentang apa yang diketahui oleh manusia. Karena tak mungkin yang tiada memberikan efek pada pikiran manusia, maka pasti yang tercermin dalam pikiran manusia adalah suatu realitas. Realitas (kenyataan) adalah segala sesuatu yang ada. Untuk memudahkan pemahaman manusia, kenyataan diidentifikasi menjadi dua hal yaitu kenyataan yang bisa diukur oleh manusia dan yang tidak bisa diukur oleh manusia. Yang bisa diukur secara kuantitatif oleh manusia disebut sebagai kenyataan materi, sedangkan kenyataan yang tidak bisa diukur secara kuantitatif manusia disebut sebagai kenyataan nonmateri. Dengankata lain materi adalah kenyataan yang bisa diindera dan nonmateri adalah sebaliknya.

Pentingnya pembahasan ontologis berkaitan dengan pembuktian kebenaran pikiran dari isi yang dikandung oleh pikiran. Apakah sebuah pengetahuan sesuai dengan realitas atau tidak. Jika tidak, maka pengetahuan tersebut bernilai salah. Selain itu ontologi juga digunakan untuk menetapkan batas-batas dari obyek pengetahuan atau ilmu yang sedang dibahas. Jika obyeknya adalah materi, maka batasannya juga harus materi. Jika obyeknya nonmateri, maka batasannya juga nonmateri.

Dengan mengetahui hakikat dari apa yang kita bahas maka kita dapat menghukumi bahasan kita dengan hakikat yang kita ketahui. Jika kita membahas tentang kursi misalnya, maka kita dapat menghukumi kursi dengan hakikat-hakikat kursi itu, misalnya bahwa kursi mempunyai berat, luas, dapat dibagi dan lain sebagainya.

Dengan demikian, penulis mendapatkan sebuah simpulan bahwa ontologi merupakan sebuah jawaban atas pertanyaan mengenai hakikat kenyataan. Kita harus memahami dengan baik masalah-masalah ontologi agar dapat memahami dengan baik masalah dunia, tempat kita tinggal.

Jika ditinjau dari segi ontologi yang berarti persoalan tentang hakikat keberadaan ilmu menunjukkan bahwa ilmu selalu berada dalam hubungannya dengan eksistensi kehidupan manusia, karena ilmu berdasar pada beberapaasumsi dasar untuk mendapatkan pengetahuan tentang fenomena yang nampak dalam kehidupan. Asumsi-asumsi dasar tersebut meliputi:
1. Dunia itu ada dan kita dapat mengetahui bahwa dunia itu benar ada;
2. Dunia empiris itu dapat diketahui oleh manusia melalui pancaindera;
3. Fenomena-fenomena yang terdapat di dunia ini berhubungan satu sama lain secara kausal.

Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa ontologi ilmu berarti ilmu dalam hubungannya dengan asal mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia. Tanpa manusia ilmu tak pernah ada. Tetapi bagaimana halnya dengan keberadaan manusia tanpa ilmu? Mungkinkah itu ada? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan pernyataan Deskrates yang menekankan pentingya kecakapan berpikir dalam skeptisimanya yang radikal, yang diungkap dalam “Cogito ergosom” (saya bepikir maka saya ada). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ontologi merupakan dasar pemikiran filsafat.

2.     Epistemologi Ilmu

Epistemologis membahas tentang bagaimana terjadinya dan kesahihan atau kebenaran ilmu. Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari semua ilmu empirik adalah prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat, dengan demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu empirik.

Begitu pula, ilmu logika yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara berpikir yang benar, diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan manusia. Namun, epistemologi (teori pengetahuan), karena mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi yang benar, diletakkan setelah epistemologi.

Pembahasan epistemologi sebagai subordinate dari filsafat itu sangat penting. Pembahasan epistemologi adalah pengantar menuju pembahasan filsafat. Tentu saja, harus kita ingat bahwa ilmu logika juga harus rampung untuk menyepakati bahwa dunia luar terdapat hakikat dan untuk mengenalnya adalah mungkin. 

Pembahasan epistemologi sebagai ilmu yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat harus dikedepankan sebelum membahas perkara-perkara filsafat.

Epistomologi berasal dari bahasa Yunani ”episteme” dan ”logos”. ”Episteme” berarti pengetahuan (knowledge), ”logos” berarti teori. Dengan demikian epistomologi secara etimologis berarti teori pengetahuan. (Rizal, 2001: 16).

Epistomologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut, Brameld (dalam Mohammad Noor Syam, 1984: 32) mendefinisikan epistomologi sebagai “ it is epistemologi that gives the teacher the assurance that he is conveying the truth to his student”. Definisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai “epistomologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya”. Disamping itu banyak sumber yang mendefinisikan pengertian Epistomologi diantarannya:

Ø  Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan.
Ø Epistomologi adalah pengetahuan sistematis yang membahas tentang terjadinnya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (Ilmiah).
Ø Epistomologi adalah cabang atau bagian filsafat yang membicarakan tentang pengetahuan yaitu tentang terjadinnya pengetahuan dan kesahihan atau kebenaran pengetahuan.
Ø Epistomologi adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan.

Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan penginderaan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
Epistemologi ilmu, meliputi sumber, sarana, tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (verstand), akal budi (vernuft), pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga dikenal model-model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, dan positivisme. Ditunjukkan pula bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi, korespondensi, pragmatis, dan teori intersubjektif.

3.     Aksiologi Ilmu
Landasan aksiologi ilmu menyangkut permasalahan pertama, apakah ilmu mendekatkan manusia pada kebenaran Tuhan itu sendiri. Kedua, apakah ilmu bermanfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri. Ketiga, apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak bebas nilai, sebab nilai-nilai menyatu dengan ilmu itu sendiri.

Makna aksiologi ilmu bisa diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari ilmu yang diperoleh. Seperti diketahui setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah, mempunyai tiga dasar, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Aksiologi ilmu adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.

Dasar aksiologis ilmu, seperti yang telah dibahas sebelumnya, membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dengan mempelajari atom kita dapat memanfaatkan untuk sumber energi bagi keselamatan manusa, tetapi hal ini juga dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas persenjataan dalam perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan mengancam keselamatan umat manusia.

Kegunaan ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Tiap ilmu terutama dalam implementasinya selalu terkait dengan aksiologinya. Dalam hal ini akan dijelaskan seberapa jauh ilmu mempunyai peranan dalam membatu mencapai kehidupan manusia yang sejahtera di dunia ini atau apakah manfaat ilmu bagi kehidupan manusia di dunia ini.


Referensi:
Jamil Suprihatiningrum, dkk. (2008). Ilmu, Pengetahuan, dan Teknologi. Yogyakarta: UNY
Jujun S. Suriasumantri. (2003). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer . Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.
Kattsoff, Louis O. (1996). Pengantar Filsafat, Alih Bahasa oleh Soedjono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mohammad Noor Syam. (1984). Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan.
Surabaya: Pancasila Usaha Nasional.
Noeng Muhadjir. (2001). Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. (2001). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
S. Burhanudin. (1997). Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. RinekaCipta.
Suparlan Suhartono. (2007). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar-Ruzz Media.
Surajiyo. (2005). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar . Jakarta: Bumi Aksara.
The Liang Gie. (2000). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. (2000). Filsafat Ilmu. Yogyakarta:Penerbit Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan YP Fakultas filsafat.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Facebook Themes