Hepta Jayawardana
Pendidikan Sains-PPS UNY
Ilmu
Apa
sih ilmu itu? Seberapa penting ilmu itu, sehingga ilmu itu penting untuk dicari
bagaimana proses mendapatkanya? Serta untuk apa ilmu itu?
1.
Ontologi Ilmu
Ontologi
merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno
dan berasal dari Yunani. Ontologi membahas keberadaan sesuatu yang
bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis
dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya,
kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales
terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air
merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun
yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu
berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap
ada berdiri sendiri).
Ontologi terdiri dari
dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti
sesuatu yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi, ontologi adalah
bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang
ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada
manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh,
teratur, dan tertib dalam keharmonisan (Suparlan Suhartono, 2007).
Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud
hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik,
dunia yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah
pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan
pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa
“ontology is the theory of being qua
being”, artinya ontologi adalah teori tentang wujud.
Hal senada juga dilontarkan oleh Jujun Suriasumantri (2000:
34 – 35), bahwa ontologi membahas apa yang ingin diketahui
atau dengan kata lain merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada.
Dasar ontologis dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi obyek
penelaahan ilmu. Berdasarkan obyek yang telah ditelaahnya, ilmu dapat
disebut sebagai pengetahuan empiris, karena obyeknya adalah sesuatu yang berada
dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang
dapat diuji oleh panca indera manusia. Berlainan dengan agama dan bentuk-bentuk
pengetahuan lain, ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian-kejadian
yang bersifat empiris, selalu berorientasi terhadap dunia empiris.
Ontologi
ilmu meliputi apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang
inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat
tentang apa dan bagaimana (yang ) “ada” itu (being, sein, het zijn). Paham monism yang terpecah menjadi idealism
atau spiritualisme, paham dualism, pluralism dengan berbagai nuansanya,
merupakan paham ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan
keyakinan kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada”
sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Ontologi membahas
tentang apa yang diketahui oleh manusia. Karena tak mungkin yang tiada
memberikan efek pada pikiran manusia, maka pasti yang tercermin dalam pikiran
manusia adalah suatu realitas. Realitas (kenyataan) adalah segala
sesuatu yang ada. Untuk memudahkan pemahaman manusia, kenyataan diidentifikasi
menjadi dua hal yaitu kenyataan yang bisa diukur oleh manusia dan yang tidak
bisa diukur oleh manusia. Yang bisa diukur secara kuantitatif oleh manusia
disebut sebagai kenyataan materi, sedangkan kenyataan yang tidak bisa diukur
secara kuantitatif manusia disebut sebagai kenyataan nonmateri. Dengankata lain
materi adalah kenyataan yang bisa diindera dan nonmateri adalah sebaliknya.
Pentingnya
pembahasan ontologis berkaitan dengan pembuktian kebenaran pikiran dari
isi yang dikandung oleh pikiran. Apakah sebuah pengetahuan sesuai dengan
realitas atau tidak. Jika tidak, maka pengetahuan tersebut bernilai salah. Selain
itu ontologi juga digunakan untuk menetapkan batas-batas dari obyek pengetahuan
atau ilmu yang sedang dibahas. Jika obyeknya adalah materi, maka batasannya
juga harus materi. Jika obyeknya nonmateri, maka batasannya juga nonmateri.
Dengan mengetahui hakikat dari apa yang kita bahas maka kita dapat menghukumi
bahasan kita dengan hakikat yang kita ketahui. Jika kita membahas tentang kursi
misalnya, maka kita dapat menghukumi kursi dengan hakikat-hakikat kursi itu,
misalnya bahwa kursi mempunyai berat, luas, dapat dibagi dan lain sebagainya.
Dengan demikian, penulis mendapatkan sebuah simpulan bahwa ontologi merupakan
sebuah jawaban atas pertanyaan mengenai hakikat kenyataan. Kita harus memahami
dengan baik masalah-masalah ontologi agar dapat memahami dengan baik masalah
dunia, tempat kita tinggal.
Jika ditinjau dari segi ontologi yang berarti persoalan tentang hakikat keberadaan
ilmu menunjukkan bahwa ilmu selalu berada dalam hubungannya dengan eksistensi
kehidupan manusia, karena ilmu berdasar pada beberapaasumsi dasar untuk
mendapatkan pengetahuan tentang fenomena yang nampak dalam kehidupan.
Asumsi-asumsi dasar tersebut meliputi:
1. Dunia itu ada dan kita dapat mengetahui bahwa dunia itu benar ada;
2. Dunia empiris itu dapat diketahui oleh manusia melalui pancaindera;
3. Fenomena-fenomena yang terdapat di dunia ini berhubungan satu sama
lain secara kausal.
Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa ontologi ilmu berarti ilmu
dalam hubungannya dengan asal mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia.
Tanpa manusia ilmu tak pernah ada. Tetapi bagaimana halnya dengan keberadaan manusia
tanpa ilmu? Mungkinkah itu ada? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan pernyataan Deskrates
yang menekankan pentingya kecakapan berpikir dalam skeptisimanya yang radikal, yang diungkap
dalam “Cogito ergosom” (saya bepikir maka saya ada). Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa ontologi merupakan dasar pemikiran filsafat.
2.
Epistemologi Ilmu
Epistemologis membahas
tentang bagaimana terjadinya dan kesahihan atau kebenaran ilmu. Ilmu-ilmu yang dimiliki
oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini memiliki
derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi
ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung
kepada ilmu tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan
sebagai ilmu dan pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari semua ilmu
empirik adalah prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam
filsafat, dengan demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu
empirik.
Begitu pula, ilmu logika yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu
yang berkaitan dengan cara berpikir yang benar, diletakkan sebagai pendahuluan
dalam filsafat dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia bisa ditempatkan
sebagai dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan manusia. Namun, epistemologi
(teori pengetahuan), karena mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia,
termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan
dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu logika dalam
beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan tetapi, ilmu
logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi yang benar,
diletakkan setelah epistemologi.
Pembahasan
epistemologi sebagai subordinate dari filsafat itu sangat penting. Pembahasan
epistemologi adalah pengantar menuju pembahasan filsafat. Tentu saja, harus
kita ingat bahwa ilmu logika juga harus rampung untuk menyepakati bahwa dunia
luar terdapat hakikat dan untuk mengenalnya adalah mungkin.
Pembahasan
epistemologi sebagai ilmu yang meneliti asal-usul, asumsi dasar,
sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam
menentukan sebuah model filsafat harus dikedepankan sebelum membahas
perkara-perkara filsafat.
Epistomologi berasal dari bahasa Yunani ”episteme” dan ”logos”. ”Episteme” berarti pengetahuan (knowledge), ”logos”
berarti teori. Dengan demikian epistomologi
secara etimologis berarti teori pengetahuan. (Rizal, 2001: 16).
Epistomologi
mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana
proses terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut, Brameld (dalam Mohammad Noor Syam, 1984: 32)
mendefinisikan epistomologi sebagai “ it
is epistemologi that gives the teacher the assurance that he is conveying the
truth to his student”. Definisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai “epistomologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran
kepada murid-muridnya”. Disamping itu banyak sumber yang mendefinisikan pengertian Epistomologi
diantarannya:
Ø Epistemologi adalah cabang ilmu
filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu
pengetahuan.
Ø Epistomologi adalah pengetahuan
sistematis yang membahas tentang terjadinnya pengetahuan, sumber pengetahuan,
asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan
kebenaran pengetahuan (Ilmiah).
Ø Epistomologi adalah cabang atau bagian
filsafat yang membicarakan tentang pengetahuan yaitu tentang terjadinnya
pengetahuan dan kesahihan atau kebenaran pengetahuan.
Ø Epistomologi adalah cara bagaimana
mendapatkan pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan
probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan
pengetahuan. Dengan demikian, ilmu
yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan penginderaan adalah bisa
dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
Epistemologi
ilmu, meliputi sumber, sarana, tatacara menggunakan sarana tersebut untuk
mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik
akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan
kita pilih. Akal (verstand), akal budi (vernuft), pengalaman,
atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang
dimaksud dalam epistemologi, sehingga dikenal model-model epistemologik seperti
rasionalisme, empirisme, kritisisme, dan positivisme. Ditunjukkan pula
bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik beserta tolok
ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi, korespondensi,
pragmatis, dan teori intersubjektif.
3.
Aksiologi Ilmu
Landasan
aksiologi ilmu menyangkut permasalahan pertama,
apakah ilmu mendekatkan manusia pada kebenaran Tuhan itu sendiri. Kedua, apakah ilmu bermanfaat bagi
kehidupan manusia itu sendiri. Ketiga,
apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak bebas nilai, sebab nilai-nilai menyatu
dengan ilmu itu sendiri.
Makna
aksiologi ilmu bisa diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
ilmu yang diperoleh. Seperti diketahui setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan
ilmiah, mempunyai tiga dasar, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Aksiologi ilmu adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai-nilai
yang terkandung dalam ilmu, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
Dasar
aksiologis ilmu, seperti yang telah dibahas sebelumnya, membahas
tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkanya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi
manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dengan mempelajari atom
kita dapat memanfaatkan untuk sumber energi bagi keselamatan manusa,
tetapi hal ini juga dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom
atom akan meningkatkan kualitas persenjataan dalam perang, sehingga jika
senjata itu dipergunakan akan mengancam keselamatan umat manusia.
Kegunaan ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan
martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Tiap ilmu terutama dalam
implementasinya selalu terkait dengan aksiologinya. Dalam hal ini akan dijelaskan
seberapa jauh ilmu mempunyai peranan dalam membatu mencapai kehidupan manusia
yang sejahtera di dunia ini atau apakah manfaat ilmu bagi kehidupan manusia di
dunia ini.
Referensi:
Jamil Suprihatiningrum, dkk. (2008). Ilmu, Pengetahuan, dan Teknologi.
Yogyakarta: UNY
Jujun S. Suriasumantri. (2003). Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer .
Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.
Kattsoff, Louis O. (1996). Pengantar
Filsafat, Alih Bahasa oleh
Soedjono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mohammad Noor Syam. (1984). Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan.
Mohammad Noor Syam. (1984). Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan.
Surabaya: Pancasila Usaha Nasional.
Noeng Muhadjir. (2001). Filsafat
Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. (2001). Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
S. Burhanudin. (1997). Logika Materiil
Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:
PT. RinekaCipta.
Suparlan Suhartono. (2007). Filsafat
Pendidikan. Yogyakarta: Kelompok
Penerbit Ar-Ruzz Media.
Surajiyo. (2005). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar . Jakarta: Bumi Aksara.
The Liang Gie. (2000). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Surajiyo. (2005). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar . Jakarta: Bumi Aksara.
The Liang Gie. (2000). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM.
(2000). Filsafat Ilmu. Yogyakarta:Penerbit Liberty Yogyakarta bekerjasama
dengan YP Fakultas filsafat.
0 komentar:
Posting Komentar