Selama
beberapa dekade telah ditemukan beberapa jenis obat yang terbukti dapat
‘meredakan’ sakit malaria. Kata ‘meredakan’ digunakan karena kenyataannya
penyakit malaria adalah penyakit yang sulit disembuhkan secara total, hal ini
dikarenakan parasit plasmodium yang
menjadi penyebab penyakit malaria bersembunyi di dalam hati (liver) manusia
sehingga aman dari terjangan atau serangan obat. Parasit plasmodium bersembunyi
dan sewaktu-waktu dapat kembali berkembang biak dan kembali menginfeksi sel
darah merah.
Obat-obatan
yang digunakan untuk pengobatan malaria sebagian besar dapat pula digunakan untuk
pencegahan penyakit malaria. Obat-obatan ini akan menjadi lebih bermanfaat dan efektif
apabila digunakan untuk pencegahan, karena parasit akan langsung dapat
dimatikan oleh obat sebelum sampai ke sistem hati (liver) manusia dan
bersembunyi di sana. Penanganan dan pengobatan malaria umumnya menggunakan beberapa
macam obat yaitu klorokuin, primakuin, dan quinacrine. Obat-obatan ini
menyerang parasit malaria dalam darah dan hati (liver) dapat merusakan sel hati
yang sehat, sehingga kurang baik dan dapat membawa efek samping yang buruk pada
pasien jika digunakan dalam dosis berat atau dalam waktu yang panjang.
Obat
malaria yang paling sering digunakan di Indonesia untuk menangani dan mengobati
malaria adalah primakuin dan klorokuin. Primakuin umumnya digunakan
pada pasien positif malaria vivax
atau ovale dengan dosis 1 kali per hari selama 14 hari berturut-turut,
sedangkan klorokuin lebih banyak digunakan untuk mengatasi malaria falciparum dengan dosis 2,5 gram yang dibagi selama 3 hari
(1 gram penggunaan awal disusul dengan 500mg per 24 jam.
Pengobatan
dengan menggunakan Kina sering
digunakan untuk mengobati malaria atau juga kombinasi antara 2 parasit misalnya
falciparum dan vivax, dengan dosis 650g per hari selama 7 hari berturut-turut.
Efek samping dari Kina adalah mengganggu pendengaran bahkan dapat merusak pendengaran.
Ditemukan Senyawa untuk melawan malaria
Sulit untuk berbicara tentang angka
jika berbicara tentang malaria. Diperkirakan setiap tahun 1,3 juta orang
meninggal karena malaria, dan dari jumlah ini sekitar 90% adalah anak di bawah
lima tahun, meskipun wanita hamil juga rentan, di samping itu ada 396 juta
kasus malaria per tahun , dengan Sahara Afrika daerah yang paling terkena
dampak.
Walaupun berbagai usaha telah
dilakukan untuk meningkatkan pengobatan, hanya sedikit kemajuan yang terlihat
beberapa tahun terakhir. Bahkan jika prevalensi malaria terus di jalurnya yang
terus meningkat, diyakini bahwa tingkat kematian bisa dua kali lipat dalam 20
tahun mendatang. Oleh karena itu suatu kemajuan atau percobaan apapun tetap
merupakan harapan untuk daerah ini.
Makalah yang diterbitkan dalam
laporan Science bahwa tim dari
institut Kesehatan Nasional AS telah mengidentifikasi beberapa senyawa yang
menunjukkan efek positif terhadap berbagai strain parasit malaria. Studi ini
menekankan bahwa parasit akan hanya memiliki sejumlah cara untuk mengembangkan
resistensi terhadap senyawa ini.
Salah satu masalah terbesar malaria
adalah resistensi parasit terhadap
obat-obat malaria yang ada saat ini. Bahkan satu-satunya obat malaria yang
ampuh saat ini yaitu artemisinin
sudah dapat dilawan oleh parasit falciparum di beberapa daerah di Asia
Tenggara.
Sebuah tim dikoordinasikan oleh
Jing Yuan telah menggunakan tinggi-throughput metode skrining untuk sekitar
3.000 senyawa yang sudah disetujui untuk manusia atau hewan ini, 32 yang aktif pada saat itu menghambat
pertumbuhan minimal 45 baris parasit malaria yang berbeda malaria di seluruh
dunia. Para peneliti kemudian menganalisis genom dari 61 baris parasit dan
menemukan bahwa banyak perbedaan dalam menanggapi obat dikaitkan hanya tiga
gen. Juga telah mengidentifikasi senyawa yang dapat digunakan bersama-sama,
karena mereka bertindak pada bentuk normal dan mutan dari target yang sama.
Anti malaria dari
minyak cengkeh ditemukan UGM
Parasit Plasmodium yang dapat menyebabkan penyakit malaria
sudah semakin kebal (resisten)
terhadap obat anti malaria (misalnya klorokuin).
Berdasarkan hal itu, tiga mahasiswa jurusan Kimia FMIPA Universitas Gadjah Mada
(UGM), Dhina Fitriastuti, Imelda Octa Tampubolon, dan Putri Ernia Wati mencoba melakukan
penelitian mengenai senyawa anti malaria yang didapatkan dari minyak daun cengkih. “Penelitian
senyawa anti malaria ini memang belum diujikan langsung pada hewan dan manusia.
Untuk menjadi obat prosesnya masih lama dan panjang uji cobanya,” kata Dhina
kepada wartawan di Kampus UGM, Selasa (31/7/2012).
Menurut Dhina minyak daun cengkih di Indonesia merupakan produk alami yang tidak
mahal. Minyak atsiri ini mempunyai
komponen yang paling dominan eugenol.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan eugenol ini dapat diubah menjadi
senyawa 3,4-dimetoksi benzaldehida (veratraldehida) melalui
proses isomerisasi, oksidasi dan metilasi. “Salah satu senyawa antimalaria baru
yang dapat disintesis adalah (1)-N-(3,4-dimetoksibenzil)-1,
10-fenantrolinium bromida dan dapat dihasilkan dari minyak daun
cengkih,” katanya. Berdasarkan hasil tersebut, senyawa (1)-N-(3,4-dimetoksibenzil)-1,
10-fenantrolinium bromida memiliki nilai IC50 yang lebih kecil dari
klorokuin. “Ini artinya senyawa hasil sintesis memiliki aktivitas antimalaria
yang lebih baik daripada klorokuin,” ungkapnya.
Menurut Dhina penelitian yang dilakukan
ini merupakan suatu langkah awal dari pembuatan obat malaria. Senyawa aktif
hasil sintesis ini masih perlu diuji klinik lebih lanjut, yaitu meliputi uji in
vivo, uji mekanisme aksi dan toksisitas. Untuk melakukannya, diperlukan
kerjasama interdisipliner ilmu yaitu dengan pihak kedokteran (dalam uji
lanjutan) dan pihak farmasi (dalam pembentukan sediaan obat). “Selanjutnya akan
kita lakukan uji toksisitas apakah senyawa ini beracun di tubuh atau tidak.
Harapan kami, senyawa ini bisa digunakan secara luas dan menjadi alternatif
obat malaria,” katanya.
(sumber:
www.obatmalaria.com)
0 komentar:
Posting Komentar