A.
Bagaimana
Kehidupan Muncul
Tidak ada persoalan yang lebih penting bagi kita seperti
pertanyaan bagaimana mahluk-mahluk yang berpikir dan berperasaan dan hidup
muncul dari materi yang tidak hidup. Teka-teki ini telah memenuhi pikiran
manusia sejak menyingsingnya kesadarannya, dan telah dijawab dengan berbagai
cara. Kita dapat mengenali secara luas beberapa macam kecenderungan:
1.
Teori
Penciptaan
Teori ini mengemukakan bahwa kehidupan yang ada di planet
diciptakan oleh Tuhan. Bumi yang dicipta Tuhan pada masa lalu sampai sekarang
mempunyai ciri yang tidak berubah. Mereka mengungkapkan teori ini berdasarkan
atas kejadian-kejadian gaib yang pernah dilihatnya. Kejadian gaib tersebut
dianggap sebagai ciptaan Tuhan , seperti halnya bumi dan kehidupan yang ada di
didalamnya juga diciptakan oleh-Nya.
2.
Teori
Keadaan Bumi yang Selalu Tetap
Menurut teori ini bumi tidak mempunyai asal mula. Begitu pula
spesies yang mendiami bumi juga tidak mempunyai asal mulanya.
3.
Teori
Cosmozoa
Teori ini mengemukakan bahwa kehidupan di bumi diperkirakan
berasal dari ruang angkasa. Hal yang mendasari teori ini adalah peyelidikan
bahwa bahan yang terdapat pada batu meteor maupun vartu komet yang jatuh ke
bumi mengandung banyak molekul organik
sederhana, misalnya cyanogens, asam hidrocyanida. Molekul-molekul
organik tersebut tatkala jatuh ke
bumi menjadi benih kehidupan. Menurut teori ini bukan hanya di bumi saja yang
timbul kehidupan. Kehidupan dapat timbul sekali atau beberapa kali di berbagai bagian galaksi dalam waktu yang berbeda.
4.
Teori
Abiogenesis
Seorang ahli ilmu pengetahuan alam berkebangsaan Belanda bernama
Antonie Van Leeuwnhoek (1632-1723),
dengan mikrosop buatannya berhasil menemukan jasad renik yang sifatnya hidup
dan bergerak-gerak dari setetes air rendaman jerami. Hasil pengamatan ini
mengingatkan kembali pada pandangan generation spontan (abiogenesis) yang
dikemukakan oleh Aristoteles (384-322 SM).
Akan tetapi, sebagian orang masih meragukan kebenarannya. Dari sekian banyak
orang yang mempermasalahkan teori tersebut, terdapat seorang ahli ilmu
pengetahuan alam bernama Francesco Redi (1626-1628) yang dengan teliti tidak
segera menerima teori tersbeut. Ia melakukan percobaan yang hasilnya kemudian
membuat pikiran banyak orang menjadi goyah terhadap teori generation spontanea.
Adapun percobaan yang dilakukan oleh Francesco Redi sebagai
berikut: dia
merebus dua potong daging segar sampai mendidih agar terjadi sterilisasi. Kedua
potongan daging itu dimasukkan ke dalam dua stoples. stoples pertama terbuka
dan stoples kedua tertutup rapat. Kedua stoples tersebut dibiarkan beberapa hari, di dalam stoples pertama yang mulutnya terbuka banyak
didapatkan larva atau tempayak lalat, sedangkan di dalam stoples kedua tidak
ditemukan larva lalat. Dari percobaan Francesco Redi tersebut muncul kesimpulan
bahwa larva yang berada di dalam stoples pertama berasal dari telur lalat yang
masuk ke dalam dan meletakkan telurnya, sedangkan di dalam stoples kedua yang tertutup rapat tidak
ditemukan larva karena lalat tidak dapat masuk ke dalam dan meletakkan
telurnya.
Selanjutnya, pada abad ke-18 seorang berkebangsaan Italia
bernama Lazzaro Spallanzani ( 1729-1799 ) melakukan eksperimen atas dasar
pemikiran seperti eksperimen Francesco Redi, hanya dalam eksperimennya tidak
digunakan daging, tetapi air kaldu. Percobaannya berlangsung sebagai berikut: disediakan tiga tabung yang masing-masing diisi dengan air kaldu
secukupnya. Tabung pertama dibiarkan terbuka mulutnya. Tabung kedua dan ketiga
dipanaskan sampai mendidih selama 15 menit. Tabung kedua dibiarkan mulutnya
terbuka, sedang tabung ketiga mulutnya tertutup rapat dengan lapisan lilin.
Setelah dibiarkan selama tujuh hari, air kaldu di dalam tabung yang mulutnya
terbuka menjadi keruh akibat timbul bakteri,
sedang keadaan air kaldu di dalam
tabung yang mulutnya tertutup masih seperti semula. Hasil eksperimen yang
dilakukan oleh Lazzaro Spallanzani ini membuktikan bahwa timbulnya bakteri
bukan terjadi secara spontan, tetapi bakteri muncul dari spora bakteri yang
masuk dan kemudian berkembang pada air kaldu.
Dengan percobaan Redi dan Spallanzani teori generation spontanea
menjadi goyah. Namun demikian, sebagian orang menetang kebenaran percobaan
Spallanzani serta mempertahankan kebenaran teori lama. Mereka menunjuk
percobaan tersebut masih ada kelemahannya , yaitu pada tabung yang tertutup
sebenarnya masih terdapat gejala generation spontanea, tetapi karena tertutup
tidak ada gaya yang masuk untuk hidup.
5. Teori Biogenesis
Dalam menjawab keraguannya terhadap paham abiogenesis, Louis Pasteur (1822-1895) melaksanakan percobaan untuk
menyempurnakan percobaan Lazzaro Spallanzani. Dalam percobaanya, Pasteur
menggunakan bahan air kaldu dengan alat labu. Langkah-langkah percobaan Pasteur
selengkapnya adalah sebagai berikut :
Langkah I: labu disi 70 cc air kaldu, kemudian ditutup
rapat-rapat dengan gabus. Celah antara gabus dengan mulut labu diolesi dengan
paraffin cair. Setelah itu pada gabus tersebut dipasang pipa kaca berbentuk
leher angsa. Lalu, labu dipanaskan atau disterilkan.
Langkah II: selanjutnya labu didinginkan dan diletakkan ditempat
yang aman. Setelah beberapa hari, keadaan air kaldu diamati. Ternyata air kaldu
tersebut tetap jernih dan tidak
mengandung mikroorganisme.
Langkah III: labu yang air kaldu didalamnya tetap jernih
dimiringkan sampai air kaldu didalamnya mengalir kepermukaan pipa hingga
bersentuhan dengan udara. Setelah itu labu diletakkan kembali pada tempat yang
aman selama beberapa hari. Kemudian keadaan air kaldu diamati lagi, ternyata air kaldu didalam
labu menjadi busuk dan banyak mengandung mikroorganisme.
Melalui pemanasan terhadap perangkat percobaanya, seluruh
mikroorganisme yang terdapat dalam air kaldu akan mati. Disamping itu, akibat
lain dari pemanasan adalah terbentuknya uap air pada pipa kaca berbentuk leher
angsa. Apabila perangkat percobaan tersebut didinginkan, maka air pada pipa
akan mengembun dan menutup lubang pipa tepat pada bagian yang berbentuk leher.
Hal ini akan menyebabkan terhambatnya mikroorganisme yang bergentayangan diudara
untuk masuk kedalam labu. Inilah yang menyebabkan tetap jernihnya air kaldu
pada labu tadi.
Pada saat sebelum pemanasan, udara bebas tetap dapat berhubungan
dengan ruangan dalam labu. Mikroorganisme yang masuk bersama udara akan mati
pada saat pemanasan air kaldu. Setelah labu dimiringkan hingga air kaldu sampai
ke permukan pipa, air kaldu itu akan bersentuhan dengan udara bebas. Disini
terjadilah kontaminasi mikroorganisme. Ketika labu dikembalikan keposisi semula
(tegak), mikroorganisme tadi ikut terbawa masuk. Sehingga, setelah labu dibiarkan beberapa
beberapa waktu air kaldu menjadi keruh, karena adanya pembusukan oleh mikroorganisme tersebut. Dengan demikian terbuktilah ketidakbenaran
paham Abiogenesis atau generation spontanea, yang menyatakan bahwa makhluk
hidup berasal dari benda mati yang terjadi secara spontan.
Berdasarkan hasil percobaan Spallanzani dan Pasteur tersebut,
maka tumbanglah paham Abiogenesis, dan munculah paham/teori baru tentang asal
usul makhluk hidup yang dikenal dengan teori Biogenesis, yang menyatakan:
1.
Omne vivum
ex ovo = setiap makkhluk hidup berasal dari telur.
2. Omne ovum ex vivo
= setiap telur berasal dari makhluk hidup,
dan
3. Omne vivum ex vivo = setiap makhluk hidup
berasal dari makhluk hidup
sebelumnya.
Walaupun Louis Pasteur dengan percobaannya telah berhasil
menumbangkan paham Abiogenesis atau generation spontanea dan sekaligus
mengukuhkan paham Biogenesis, belum berarti bahwa masalah bagaimana
terbentuknya makhluk hidup yang pertama kali terjawab.
6.
Teori
Biologi Modern ( Evolusi Biokimia )
Menurut teori ini, asal kehidupan yang pertama adalah
reaksi-reaksi kimiawi yang menghasilkan asam amino pembentuk protein. Asam
amino merupakan dasar pembentukan
setiap sel. Asam amino tersusun dari unsur C, H, O dan N sebagai unsur utama.
Di atmosfer banyak terdapat gas CH4,
NH3, H2O, dan H2 yang jika terkena loncatan bunga api listrik
dapat membentuk asam amino. Teori terbentuknya asam amino di atmosfer
dikemukakan oleh Harold Urey dan Oparin. Teori Urey dibuktikan kebenarannya
oleh Stanley Miller. Stanley Miller mencoba mensimulasikan kondisi atmosfer
purba di dalam skala laboratorium. Ia merancang alat yang seperti terlihat
dalam gambar di bawah ini.
Gambar: Skema percobaan Miller
Miller memasukkan gas H2,
CH4 (metan),
NH3 (amonia)
dan air ke dalam alat. Air dipanasi sehingga uap air bercampur dengan gas-gas
tadi. Sebagai sumber energi yang bertindak sebagai "halilintar" agar
gas-gas dan uap air bereaksi, digunakan lecutan aliran listrik tegangan tinggi.
Ternyata timbul reaksi, terbentuk senyawa-senyawa organik seperti asam amino,
adenin dan gula sederhana seperti ribosa.
Hasil percobaan di atas memberi petunjuk bahwa satuan-satuan
kompleks di dalam sistem kehidupam seperti lipid, gula, asam amino, nukleotida
dapat terbentuk di bawah kondisi abiotik. Yang menjadi masalah utama adalah
belum dapat terjawabnya bagaimana mekanisme peralihan dari senyawa kompleks
menjadi makhluk hidup yang paling sederhana.
T. H. Huxley, menguraikan bahwa seluruh bentuk kehidupan
memiliki dasar yang sama: protoplasma. Ia menegaskan bahwa hal ini secara
fungsional, formal dan substansial sama di seluruh bentuk kehidupan. Dalam
fungsi, semua organisme menunjukkan pergerakan, pertumbuhan, metabolisme dan
reproduksi. Dalam bentuknya mereka terdiri dari sel-sel yang memiliki inti sel;
dan dalam substansi, mereka semua terdiri dari protein, suatu senyawa kimia dari karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen.
Secara grafis, ini menunjukkan satu kesatuan yang mendasari seluruh kehidupan.
Menurut Bernal, kesatuan kehidupan adalah bagian dari sejarah
kehidupan dan, sebagai akibatnya, terlibat pula dalam pembentukannya. Semua
gejala biologis dilahirkan, berkembang dan mati sesuai dengan hukum-hukum
fisiknya. Biokimia telah menunjukkan bahwa semua kehidupan di bumi ini
sesungguhnya sama pada tingkat kimiawinya. Sekalipun terdapat sejumlah besar
variasi antar spesies, mekanisme dasar dari enzim, ko-enzim dan asam nukleat
muncul di manapun. Pada saat yang bersamaan, ia membentuk satu himpunan
partikel-partikel identik yang menyatukan diri mereka melalui prinsip
penyusunan-diri dalam struktur-struktur yang teramat rumit.
Akan tetapi, penemuan baru di abad ke-20 menunjukkan kehidupan
terlalu kompleks untuk dapat terbentuk secara kebetulan. Evolusionis terkenal
Leslie Orgel membuat pengakuan berikut ini: "(Dengan mempelajari struktur
DNA, RNA, dan protein) seseorang mestinya berkesimpulan: ternyata kehidupan
tidak akan pernah dapat terbentuk melalui reaksi-reaksi kimiawi."
Ilmuwan Perancis Louis Pasteur, bapak mikrobiologi, dalam
serangkaian percobaan akhirnya
menghancurkan teori pertumbuhan spontan dengan menyatakan "Kehidupan
hanya dapat datang dari kehidupan". Selain
menggugurkan teori evolusi, hukum "kehidupan muncul dari kehidupan
sebelumnya" juga menunjukkan bahwa makhluk hidup pertama muncul di bumi
dari kehidupan yang ada sebelumnya, dan ini berarti ia diciptakan oleh Tuhan.
Pandangan idealis Plato-lah (yang dinyatakan juga oleh
Aristoteles) yang menulari pertumbuhan spontan dengan kualitas supernatural dan
kemudian menjadi basis dari budaya ilmiah abad pertengahan dan mendominasi
pemikiran orang selama berabad-abad. Materi tidak mengandung kehidupan tapi
kehidupan dihembuskan ke dalamnya. Melalui aliran filsafat Yunani dan Romawi,
ia dipinjam dan diperluas oleh gereja Kristen purba untuk mengembangkan paham
mistik mereka tentang asal-muasal kehidupan. Santo Agustinus melihat satu
campur-tangan ilahi dalam pertumbuhan spontan-pemberian
hidup pada materi yang tidak hidup oleh "ruh yang menciptakan hidup".
Seperti yang ditunjukkan Lenin, para skolastik dan klerik mengambil apa-apa
yang mati dalam filsafat Aristoteles dan bukannya apa hidup di dalamnya. Ide
ini kemudian dikembangkan oleh Thomas Aquinas sesuai dengan ajaran gereja
Katolik. Sudut pandang yang mirip dimiliki pula oleh gereja-gereja Timur. Uskup
Rostov, Dmitrii, di tahun 1708 menjelaskan bahwa Nuh tidak memuat hewan-hewan
yang sanggup mengadakan pertumbuhan spontan di dalam bahteranya: "Semua
hewan ini tewas di dalam Air Bah dan setelah Air Bah berlalu mereka muncul lagi
dalam awal yang baru." Inilah kepercayaan dominan dalam masyarakat Barat
sampai pertengahan abad ke-19.
B.
Kelahiran
Kehidupan yang Revolusioner
Kini telah semakin jelas bahwa bumi di tahap-tahap awalnya
tidaklah bekerja dengan cara yang sama dengan apa yang nampak saat ini. Susunan
atmosfir, iklim, dan kehidupan itu sendiri, berkembang melalui proses yang
meletup-letup, melibatkan lompatan-lompatan mendadak, dan segala jenis
transformasi, termasuk kemunduran-kemunduran (retrogres). Evolusi bumi dan kehidupan itu sendiri sangat jauh dari
sebuah garis yang lurus, melainkan penuh dengan kontradiksi. Masa-masa awal
dari sejarah bumi, yang dikenal sebagai Archaean, berlangsung sampai 1,8 milyar
tahun lalu. Pada awalnya, atmosfir terutama mengandung karbon dioksida, amonia,
air dan nitrogen, tapi tidak ada oksigen bebas. Sebelum tahap ini bumi tidak
mengandung satupun kehidupan. Jadi, bagaimana kehidupan muncul?
Seperti yang telah kita lihat, sampai awal abad ke-20, para ahli
geologi percaya bahwa bumi memiliki sejarah yang amat pendek. Hanya secara
perlahan persoalan menjadi jelas bahwa planet ini memiliki sejarah yang jauh
lebih panjang, dan terlebih lagi, merupakan sejarah yang dicirikan oleh perubahan
yang berlangsung terus-menerus dan kadang kala penuh gejolak. Kita melihat
gejala yang mirip dalam hubungannya dengan perkiraan usia tata-surya, yang
ternyata jauh lebih tua dari apa yang sebelumnya pernah diperkirakan. Cukuplah
bagi kita untuk mengatakan bahwa kemajuan-kemajuan dalam teknologi setelah
Perang Dunia II, khususnya penemuan jam nukir, menyediakan dasar untuk
pengukuran-pengukuran yang jauh lebih akurat, yang melahirkan satu lompatan
besar dalam pemahaman kita tentang evolusi dari planet kita sendiri.
Kini kita dapat mengatakan bahwa bumi menjadi satu planet yang
padat lebih dari 4,5 milyar tahun lalu. Untuk pemikiran sehari-hari, ini
kelihatannya merupakan waktu yang sangat lama. Namun, ketika kita berurusan
dengan waktu geologis, kita memasuki satu tata besaran yang sangat berbeda.
Para ahli geologi terbiasa dengan besaran jutaan dan milyaran tahun, seperti
kita berpikir tentang jam, hari dan minggu. Sangat perlu untuk menciptakan satu
skala-waktu yang berbeda, yang sanggup mencakup jangka waktu yang demikian
panjang. Inilah tahap awal dari sejarah bumi, namun masa-masa yang penuh
gejolak ini adalah tidak kurang dari 88% dari seluruh sejarah yang telah
dilewati bumi. Bila dibandingkan dengan hal ini, seluruh sejarah umat manusia
sejauh ini tidaklah lebih dari sekejap mata saja. Sayangnya, terputus-putusnya
bukti dari masa-masa itu telah menghalangi kita untuk mendapatkan satu gambar
yang lebih rinci tentang proses yang terjadi.
Untuk memahami asal-usul kehidupan, sangat perlu untuk mengetahui
komposisi awal lingkungan dan atmosfir bumi. Dengan memandang satu skenario
yang paling mungkin bahwa bumi dibentuk dari awan debu bintang, komposisi
awalnya seharusnya adalah terutama hidrogen dan helium. Saat ini bumi
mengandung sejumlah besar unsur-unsur yang lebih berat seperti oksigen dan
besi. Sesungguhnya, bumi mengandung sekitar 80% nitrogen dan kira-kira 20%
oksigen. Alasan untuk ini adalah bahwa hidrogen dan helium yang lebih ringan
telah lolos dari atmosfir bumi karena tarikan gravitasi tidak cukup kuat untuk
menahan mereka. Planet-planet dengan gravitasi yang lebih besar, seperti
Jupiter dan Saturnus, telah menahan hidrogen dan helium di dalam atmosfir
mereka yang sangat rapat itu. Sebaliknya, bulan kita yang jauh lebih kecil itu,
dengan gravitasi yang malah lebih kecil lagi, telah kehilangan seluruh
atmosfirnya.
Gas-gas vulkanik yang terbentuk dalam atmosfir purba pastilah
mengandung air, bersama metana dan amonia. Orang menduga bahwa gas-gas ini
dilepaskan dari dalam bumi. Akhirnya gas-gas ini menjenuhkan atmosfir dan
menghasilkan hujan. Dengan mendinginnya permukaan bumi, danau-danau dan lautan
mulai terbentuk. Orang kini percaya bahwa lautan purba ini mengandung semacam
pendahulu kehidupan, di mana unsur-unsur kimia yang ada, di bawah hantaman
sinar ultraviolet dari matahari, bersintesa untuk menghasilkan senyawa-senyawa
nitrogren-organik yang kompleks, seperti asam amino. Efek dari ultraviolet ini
dimungkinkan oleh ketiadaan ozon di atmosfir. Inilah basis bagi hipotesis
Oparin-Haldane.
Semua kehidupan diorganisasikan ke dalam sel-sel, kecuali virus.
Bahkan sel-sel yang paling sederhana adalah gejala yang sangat kompleks. Teori
standard yang sekarang diterima adalah bahwa panas dari bumi sendiri seharusnya
cukup untuk terbentuknya senyawa kompleks dari senyawa yang sederhana.
Bentuk-bentuk kehidupan yang sederhana sanggup menyimpan energi yang diambil dari radiasi ultraviolet matahari. Namun,
perubahan yang terjadi dalam komposisi atmosfir telah memblokade pasokan
ultraviolet ini. Agregat-agregat tertentu, yang telah mengembangkan senyawa
yang dikenal sebagai klorofil, mampu menggunakan cahaya tampak yang menembus
lapisan ozon, yang ultraviolet tidak sanggup menembusnya. Ganggang-ganggang
purba mengkonsumsi karbon dioksida dan mengeluarkan oksigen, yang membawa pada
pembentukan atmosfir kita yang sekarang.
Di seluruh jalannya sejarah waktu geologis, kita dapat mengamati
kesalingtergantungan dialektik dari aktivitas atmosfir dan biosfir. Di satu
pihak, kebanyakan dari oksigen bebas yang kini terdapat di atmosfir adalah
hasil dari aktivitas biologis (melalui proses fotosintesis di dalam tumbuhan).
Di pihak lain, perubahan dalam komposisi atmosfir, khususnya peningkatan dalam
jumlah oksigen bebas, memicu inovasi-inovasi besar secara biologis, yang memungkinkan
bentuk-bentuk kehidupan yang baru untuk muncul dan berkembang biak.
Bagaimana sel hidup pertama muncul dari asam amino purba dan
molekul-molekul sederhana sekitar empat milyar tahun lalu? Teori standard, yang
dinyatakan di tahun 1953 oleh ahli kimia pemenang Hadiah Nobel, Harold Urey dan
Stanley Miller, adalah bahwa kehidupan muncul secara spontan dari atmosfir
purba yang terdiri dari metana, amonia dan lain-lain bahan kimia, yang
diaktivasi oleh kilatan petir. Reaksi-reaksi kimia lanjutan akan memungkinkan
senyawa kehidupan yang sederhana untuk berkembang menjadi molekul-molekul yang
semakin kompleks, yang akhirnya menghasilkan struktur double-helix DNA, atau
pita tunggal RNA, keduanya adalah penguasa proses reproduksi.
Peluang bahwa kejadian ini dapat terjadi karena kebetulan
sangatlah menakjubkan, seperti yang sering ditunjukkan oleh para penganut teori
Penciptaan, jika asal-usul kehidupan adalah kejadian acak, maka para penganut
teori Penciptaan akan sangat bergembira karenanya. Itu mukjizat, tidak bisa
lain! Struktur dasar kehidupan dan aktivitas genetik secara umum tergantung
dari molekul-molekul yang teramat kompleks dan canggih - DNA dan RNA. Untuk
membuat satu molekul protein tunggal akan diperlukan untuk menggabungkan
beberapa ratus asam amino dengan urutan yang akurat. Ini adalah tugas yang amat
berat, bahkan di laboratorium yang memiliki peralatan paling mutakhirpun.
Peluang hal ini terjadi secara kebetulan dalam sebuah kolam yang panas akan
demikian kecilnya.
Permasalahan ini telah didekati akhir-akhir ini dari sudut
pandang kompleksitas, satu cabang dari teori chaos. Stuart Kauffman, dalam
karyanya tentang genetika dan kompleksitas, mengajukan satu kemungkinan bahwa
sejenis kehidupan muncul sebagai hasil dari kemunculan keteraturan secara
spontan dari kekacauan molekular, melalui bekerjanya hukum-hukum fisika dan
kimia. Jika sup purba itu cukup kaya dengan asam amino, tidaklah perlu untuk
menunggu satu reaksi acak. Satu jaring-jaring reaksi yang sanggup memperkuat
dirinya sendiri dapat terbentuk dari senyawa-senyawa dalam sup itu.
Dengan bantuan katalis berbagai molekul dapat berinteraksi dan
berfusi satu sama lain untuk membentuk apa yang disebut Kauffman sebagai
"himpunan yang sanggup mengkatalisasi diri sendiri". Dengan cara ini,
keteraturan yang muncul dari kekacauan molekular akan mewujudkan dirinya dalam
sebuah sistem yang bertumbuh. Ini bukanlah kehidupan seperti yang kita kenal
saat ini. Ia tidak memiliki DNA, kode genetik, dan membran sel. Tapi ia dapat
menunjukkan beberapa ciri yang mirip dengan ciri mahluk hidup. Contohnya, ia
dapat bertumbuh. Ia akan memiliki sejenis metabolisme-menyerap satu pasokan
"pangan" yang terdiri dari molekul-molekul asam amino dan lain-lain
senyawa sederhana, menambahkan senyawa-senyawa ini pada dirinya sendiri. Itu
adalah satu bentuk reproduksi yang primitif, yang memperbesar diri sendiri
untuk menyebar ke daerah yang lebih luas. Ide ini, yang merupakan satu contoh
dari lompatan kualitatif, atau "fase peralihan" dalam bahasa
kompleksitas akan berarti bahwa kehidupan tidaklah muncul sebagai sebuah
peristiwa acak, tapi sebagai hasil dari kecenderungan inheren di alam untuk
semakin menaikkan tingkat pengorganisasian.
Organisme hewani yang pertama adalah sela-sel yang sanggup
menyerap energi yang disimpan dalam
sel-sel tumbuhan. Atmosfir yang berubah, lenyapnya radiasi ultraviolet, dan
kehadiran bentuk-bentuk kehidupan yang sudah lebih dulu ada menghapuskan
kemungkinan munculnya satu bentuk kehidupan lain di bumi, kecuali jika ia
dihasilkan secara rekayasa di dalam laboratorium. Ketiadaan pesaing atau
predator di lautan purba menyebabkan senyawa-senyawa asal ini dapat menyebar
dengan cepat. Pada tahap tertentu akan terdapat satu lompatan kualitatif dengan
pembentukan molekul asam nukleat yang sanggup mereproduksi dirinya sendiri:
satu organisme hidup. Dengan cara ini, materi organik muncul dari materi
anorganik. Secara perlahan, selama jutaan tahun, mutasi akan mulai muncul, yang
akhirnya menghasilkan bentuk-bentuk kehidupan yang lain.
Maka kita dapat sampai pada umur minimum bagi bumi. Salah satu
rintangan bagi evolusi kehidupan di bumi seperti yang kita kenal adalah
ketiadaan satu lapisan ozon di bagian atas atmosfir purba, di masa Archaean.
Hal ini memungkinkan satu penetrasi permukaan lautan oleh radiasi universal,
termasuk sinar ultraviolet, yang sanggup melumpuhkan molekul DNA. Organisme
primitif yang pertama (sel-sel prokariotik) berbentuk sel tunggal, tapi tidak memiliki inti sel dan tidak
sanggup melakukan pembelahan sel. Namun, mereka relatif tahan terhadap radiasi
ultraviolet, atau bahkan, menurut satu teori, tergantung pada radiasi itu.
Organisme ini adalah bentuk yang dominan di bumi selama kurang lebih 2,4 milyar
tahun.
Mahluk-mahluk prokariotik bersel tunggal ini bereproduksi secara
aseksual melalui pembelahan dan penyatuan. Secara umum, reproduksi aseksual
menghasilkan salinan yang identik kecuali terjadi mutasi, satu hal yang jarang.
Hal ini menjelaskan lambatnya perubahan evolusioner pada masa ini. Namun,
kemunculan sel-sel yang berinti (uekariota) melahirkan satu kemungkinan untuk
kompleksitas yang lebih tinggi. Sangat mungkin bahwa evolusi eukariota muncul
dari satu koloni prokariota. Contohnya, beberapa prokariota modern dapat
menyerbu dan hidup sebagai komponen di dalam satu sel eukariota. Beberapa
organela uekariota memiliki DNA-nya sendiri, yang tentunya adalah sisa-sisa
dari jaman ketika mereka memiliki keberadaan yang terpisah dari induk selnya.
Kehidupan itu sendiri memiliki ciri-ciri mendasar, termasuk metabolisme (total
dari perubahan kimiawi yang terjadi dalam satu organisme) dan reproduksi. Jika
kita menerima adanya satu kesinambungan dalam proses-proses alam, organisme
yang paling sederhana yang ada saat ini harusnya telah ber-evolusi dari proses
yang sebelumnya lebih sederhana dan lebih sederhana lagi. Lebih jauh, basis
material bagi kehidupan adalah unsur-unsur yang paling banyak terdapat di jagad
raya: hidrogen, karbon, oksigen dan nitrogen.
Sekali kehidupan muncul, ia sendiri mengandung satu rintangan
yang mencegah kemunculan bentuk kehidupan lain di masa mendatang. Oksigen
molekular, satu produk-samping dari kehidupan, muncul dari proses fotosintesis
(di mana cahaya diubah menjadi energi).
"Kehidupan yang kita miliki di bumi saat ini, sesungguhnya, terbagi ke
dalam dua golongan besar yang telah lama dikenal oleh umat manusia - hewan yang
bernafas dengan oksigen dan dan tumbuhan yang berfotosintesis atau hidup dari
cahaya," papar Bernal. "Hewan dapat hidup di tempat gelap, tapi
mereka membutuhkan udara untuk bernafas, baik udara bebas maupun yang terlarut
di dalam air. Tumbuhan tidak membutuhkan oksigen (bahkan
mereka menghasilkan oksigen di siang hari)
tapi mereka tidak dapat hidup dan bertumbuh lama di tempat gelap. Yang mana,
kalau demikian, yang muncul terlebih dahulu? Atau apakah ada bentuk kehidupan
lain yang mendahului mereka? Alternatifnya kini nampak sangat pasti. Telaah
yang teliti atas sejarah kehidupan, anatomi internal sel dan metabolisme baik
dari tumbuhan maupun hewan menunjukkkan bahwa mereka berkembang dari spesialisasi
yang berbeda dari beberapa zoo-fit. Zoo-fit pastilah mirip dengan beberapa
bakteri yang ada saat ini yang dapat sekaligus menjalankan fungsi tumbuhan dan
hewan, dan bekerja baik sebagai agen oksidasi maupun fotosintetik.
Reproduksi adalah satu unsur yang hakiki dari kehidupan. Ketika
pembelahan sel terjadi, satu himpunan sel-sel anak yang identik dihasilkan.
Mekanisme untuk duplikasi ini, untuk membuat molekul protein baru yang memiliki
susunan yang persis sama dengan sel induknya, disimpan dalam asam nukleat.
Molekul-molekul ini bersifat unik dalam makna bahwa hanya mereka sendirilah,
dengan bantuan dari beberapa enzim tertentu, yang sanggup mereproduksi diri
mereka secara langsung. DNA (deoxyribonucleic acid) membawa semua informasi
yang diperlukan untuk mengarahkan satu sintesa protein-protein baru. Namun, DNA
tidak dapat langsung melakukan itu, tapi bekerja sebagai sebuah "master
copy" yang disalin berulang-ulang ke dalam m-RNA (messenger-ribonucleic
acid), m-RNA inilah yang membawa informasi tentang urutan itu pada sistem yang
sedang bersintesa. Ini dikenal sebagai kode genetik. Asam nukleat tidak dapat
bereplikasi tanpa enzim, dan enzim tidak dapat dibuat tanpa asam nukleat.
Mereka pasti berkembang secara paralel. Sangat mungkin bahwa dalam "sup"
purba itu, yang terdiri dari banyak unsur, telah terdapat sejenis RNA yang juga
merupakan enzim, yang berkembang berdasarkan seleksi alam. Enzim-RNA ini
bergabung untuk membentuk sebuah heliks, dan menjadi basis bagi terbentuknya
RNA yang sanggup mereplikasi dirinya sendiri.
Sel berinti, yaitu eukariota telah dengan sempurna beradaptasi
terhadap oksigen dan menunjukkan variasi yang kecil saja di antara mereka.
Kemunculan dari bentuk kehidupan baru yang revolusioner ini mengijinkan
reproduksi seksual yang maju, yang pada gilirannya, mempercepat laju evolusi.
Sementara prokariota terdiri dari hanya dua kelompok organisme, bakteria dan
ganggang biru-hijau (yang terakhir disebut ini menghasilkan oksigen melalui
fotosintesis), eukariota terdiri dari segala tumbuhan hijau, semua hewan dan
jamur. Reproduksi seksual merupakan satu lompatan kualitatif besar ke depan.
Hal ini menuntut dibungkusnya semua material genetik di dalam inti sel.
Reproduksi seksual juga memungkinkan percampuran gen antara dua sel, peluang
variasinya menjadi jauh lebih besar. Dalam reproduksi, kromosom dari sel-sel
eukariotik bergabung untuk menghasilkan sel-sel baru. Seleksi alam berfungsi
untuk memelihara variasi genetik yang menguntungkan di dalam pool genetik.
C.
Kelahiran
Manusia yang Revolusioner
Zaman yang dikenal sebagai Kenozoikum dimulai dengan kepunahan
massal 65 juta tahun lalu dan telah berlangsung terus sampai sekarang. Selama
jaman ini, benua-benua terus bergeser, berpisah dan bertumburan. Ini
menciptakan kondisi-kondisi lingkungan yang baru. Dalam 20 juta tahun pertama
suhu naik terus, dan satu zona tropispun muncul, di mana kondisi-kondisi di
Inggris, misalnya, menyerupai kondisi hutan di Malaya. Perkembangan yang paling
penting dalam evolusi dalam jaman ini adalah kebangkitan yang luar biasa cepat
dari mamalia, yang mengambil alih lingkungan yang ditinggalkan oleh para
reptil. Sampai 40 juta tahun lalu, primata, gajah, babi, hewan pengerat, kuda,
duyung, penyu, ikan paus dan kelelawar, beserta kebanyakan ordo burung modern
dan berbagai familia tumbuhan, telah muncul.
Kebangkitan mamalia dapat dilihat sebagai sejenis perarakan yang
penuh kemenangan, di mana evolusi berjalan semakin jauh ke atas, dalam garis
yang tak terputus, yang berpuncak pada kelahiran umat manusia, mahkota evolusi
yang bertahtakan mutu manikam. Primata, nenek moyang kera dan manusia, tersebar
di seluruh dunia. Pada waktu ini, Antartika mencapai Kutub Selatan dan mulai
ditutupi dengan es. Selama 10-20 juta tahun berikutnya, terjadi lagi satu masa
pertumbuhan yang eksplosif dari mamalia (dari
jenis yang berukuran paling besar yang pernah ada)
di mana banyak spesies kera mulai bermunculan. Namun desain dasar kera tidak
berubah selama masa ini, sampai satu pergeseran iklim baru yang tajam membawa
transformasi yang tajam pula. Ada ketidaksepakatan yang cukup tajam antar para
paleontologis tentang masalah kapan dan bagaimana hominid berpisah dari kera.
Terdapat tanda-tanda dari tulang-tulang bahwa sejak 14 juta
tahun lalu telah terdapat sebuah spesies yang menyerupai kera modern. Para
ilmuwan percaya bahwa tulang-tulang ini berasal dari satu spesies yang hidup
baik di Afrika maupun Eurasia sejak 14-7 juta tahun lalu. Kelihatannya ia
adalah satu spesies yang sangat sukses dalam evolusinya, dan merupakan
nenek-moyang bersama dari manusia, kera dan gorila. Lalu, 10-7 juta tahun lalu,
terdapat lagi satu perubahan lingkungan yang dramatik. Antartika telah
tertutupi oleh glaser lalu lapisan es itu menyebar, bukan hanya ke selatan,
tapi juga ke utara, sampai ia menutupi Alaska, Amerika Utara, dan Eropa Utara.
Karena semakin banyak air yang terjebak ke dalam es, tingkat permukaan air laut
semakin turun. Telah diperkirakan bahwa kejatuhan tingkat permukaan air laut
lebih dari 150 meter pada saat itu. Sebagai hasilnya, muncul banyak massa-daratan
yang baru; jembatan darat terbentuk antara Eropa dan Afrika,
Asia dan Amerika, Inggris dan Eropa daratan, yang memungkinkan
migrasi lebih jauh dari berbagai spesies. Laut Tengah diuapkan sepenuhnya.
Iklim di sekitar katulistiwa menjadi amat kering, menghasilkan padang pasir
yang amat luas, beriringan dengan semakin mengecilnya hutan-hutan, dan
kemunculan padang-padang rumput yang maha luas. Pada waktu ini, Asia dipisahkan
dari Afrika oleh gurun-gurun, mengisolasi kera-kera Afrika dari kerabat mereka
di Asia. Tidak terhindarkan lagi, ini adalah masa kepunahan massal yang baru.
Tapi ia juga merupakan masa kelahiran bagi spesies-spesies baru. Pada titik
tertentu, mungkin 7 juta tahun lalu, perkembangan mamalia menghasilkan spesies
hominid (primata yang mirip manusia) yang pertama.
Fosil-fosil hominid pertama ditemukan di Afrika Timur, dan
termasuk dalam spesies yang dikenal sebagai Australopithecus Afarensis, yang
hidup sekitar 3,5-3,3 juta tahun lalu. Mahluk-mahluk mirip kera ini mampu
berjalan tegak, memiliki tangan dengan ibu jari yang berlawanan posisinya
dengan jari lainnya, dan dengan demikian mampu memanipulasi alat. Kapasitas
rongga otaknya lebih besar dari kera lainnya (450 cc). Sampai saat ini, belum
ada ditemukan alat-alat yang dapat dihubungkan dengan hominid-hominid awal ini,
tapi alat-alat itu terbukti ada ketika kita menjumpai spesies pertama yang
jelas-jelas dikenali sebagai manusia, yang diberi nama dengan tepat sekali
sebagai Homo habilis ("manusia pembuat alat"), yang berjalan tegak,
memiliki tinggi 1,20 meter dan memiliki kapasitas otak sebesar 800 cc. Pada
titik mana pemisahan sejati dari manusia dan kera hominid terjadi?
Paleontologis telah berdebat lama tentang hal ini. Jawaban ini telah
dikemukakan oleh Engels dalam esai adikaryanya The Part Played by Labour in the
Transition of Ape to Man. Tapi sesungguhnya hal ini telah diantisipasi oleh
Marx dan Engels jauh sebelumnya dalam karya perdana mereka, The German
Ideology, yang ditulis di tahun 1845:
"Manusia dapat dibedakan dari hewan
melalui kesadarannya, melalui agama atau apapun yang Anda sukai. Mereka sendiri
mulai membedakan diri mereka dari hewan segera setelah mereka mulai
menghasilkan alat-alat pemenuhan kebutuhan hidup mereka, satu langkah yang
dikondisikan oleh organisasi fisik mereka. Dengan menghasilkan alat-alat
pemenuhan kebutuhan hidupnya, manusia secara tidak langsung menghasilkan
kehidupan material mereka."
Dalam satu upaya untuk menjelekkan pandangan materialis tentang
asal-usul spesies manusia, seringkali dikemukakan bahwa manusia bukanlah
satu-satunya makhluk yang dapat "menggunakan alat". Argumen ini
sepenuhnya kosong. Walaupun banyak hewan (bukan hanya monyet dan simpanse, tapi
juga beberapa jenis burung dan serangga) dapat disebut menggunakan "alat"
untuk beberapa aktivitas tertentu, semua ini terbatas pada material alami apa
yang dapat mereka temukan (tongkat, batu, dsb). Lebih jauh lagi, penggunaan semacam itu hanya merupakan
aktivitas yang kebetulan saja, seperti ketika seekor monyet melemparkan
sebatang tongkat untuk merontokkan buah dari tangkainya, atau tindakan terbatas
yang sekalipun boleh jadi kompleks tapi sepenuhnya merupakan hasil dari naluri
dan pengkondisian genetik. Tindakan-tindakannya selalu sama ketika diulangi.
Sama sekali tidak terdapat perencanaan yang cerdas, pemahaman akan apa yang
akan terjadi atau kreativitas, kecuali pada tingkatan yang sangat terbatas pada
beberapa spesies mamalia yang paling maju, tapi bahkan kera-kera yang paling
maju sama sekali tidak memiliki aktivitas yang mirip dengan aktivitas produktif
dari manusia yang paling primitif sekalipun. Point yang hakiki di sini bukanlah
bahwa manusia "menggunakan alat".
Masalah sebetulnya adalah bahwa manusia adalah satu-satunya
makhluk yang membuat alat, dan bukan sebagai aktivitas kebetulan yang
terisolasi, melainkan sebagai satu kondisi hakiki bagi keberadaan mereka, yang
merupakan dasar bagi segala sesuatu yang lainnya. Maka, sekalipun secara
genetik manusia dan simpanse hampir-hampir identik, dan perilaku dari
hewan-hewan ini dalam beberapa hal mirip sekali dengan manusia, simpanse yang
paling cerdaspun tidak sanggup membuat alat batu yang paling kasar seperti yang
dihasilkan oleh Homo erectus, satu mahluk yang berada di ambang evolusioner
menuju umat manusia. Tidak ada keraguan bahwa para pembuat alat yang pertama
memiliki kapasitas mental jauh di atas kera-kera. Pembuatan alat membutuhkan
satu koordinasi atas kemampuan motorik dan kognitif yang cukup tinggi.
Perkembangan umat manusia bukanlah satu kebetulan, tapi
merupakan hasil dari satu keharusan. Posisi berdiri tegak dari hominid-hominid
pertama diperlukan untuk memungkinkan mereka bergerak bebas di padang rumput
dalam rangka mencari makanan. Kepala harus didudukkan di puncak tubuh untuk
dapat mendeteksi keberadaan hewan pemangsa. Kera tidaklah memiliki tubuh yang
sesuai untuk berjalan pada dua kaki dan hanya dapat melakukan hal itu dengan
kikuk. Anatomi dari hominid awal menunjukkan struktur tulang yang jelas
teradaptasi untuk cara berjalan tegak. Postur tegak ini memiliki kelemahan-kelemahan
yang besar. Mustahil bagi mahluk bipedal untuk dapat berlari secepat mereka
yang berjalan dengan empat kaki. Dalam banyak cara, bipedalisme adalah satu
postur yang tidak alamiah, yang menjelaskan keberadaan penyakit punggung yang
telah menghantui manusia sejak masih tinggal di gua-gua sampai sekarang.
Keuntungan besar dari bipedalisme adalah bahwa posisi itu membebaskan tangan
untuk dapat bekerja. Inilah lompatan besar umat manusia. Kerja, bersama dengan
alam, adalah sumber segala kekayaan. Hal yang sama berlaku pula untuk bahasa.
Sekalipun kera sanggup menghasilkan serangkaian bunyi-bunyian dan sikap tubuh
yang boleh dilihat sebagai sejenis "bahasa" embrionik, segala upaya
yang pernah dicoba untuk mengajari mereka berbicara telah menemui kegagalan.
Bahasa, seperti dijelaskan Engels, adalah satu hasil dari proses produksi
kolektif, dan hanya dapat lahir dalam sebuah spesies yang aktivitas hidupnya
bergantung semata pada kerja-sama dalam rangka menghasilkan alat, satu proses
yang kompleks yang harus dipelajari secara sadar dan diteruskan dari generasi
yang satu ke generasi berikutnya.
Kehidupan di padang rumput terbuka dengan berjenis hewan
pemangsa adalah pekerjaan yang berbahaya. Manusia bukanlah makhluk yang
perkasa; dan hominid-hominid awal jauh lebih kecil dari manusia modern. Mereka
tidak memiliki cakar yang kuat atau gigi yang tajam, mereka juga tidak dapat
berlari lebih cepat dari singa maupun pemangsa berkaki empat lainnya.
Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan mengembangkan satu
komunitas yang sangat terorganisir dan kooperatif untuk sebuah eksploitasi
kolektif atas sumber makanan yang langka itu. Tapi langkah yang menentukan
tidak diragukan lagi adalah pembuatan artefak, dimulai dengan kapak-kapak batu,
yang digunakan untuk berbagai macam keperluan. Sekalipun penampilan mereka amat
sederhana, alat-alat ini sebetulnya sudah mencapai tingkat yang sangat canggih
dan serba-guna, yang pembuatannya
menunjukkan tingginya tingkatan organisasi, perencanaan, dan setidaknya
unsur-unsur dari pembagian kerja. Di sinilah kita mendapati permulaan sejati
dari masyarakat manusia.
Engels membahas tiga ciri hakiki dari evolusi manusia: kemampuan
berbicara, ukuran otak yang besar, dan posisi berdiri tegak. Ia berpendapat
bahwa langkah pertama haruslah berupa turunnya nenek moyang kita dari
pepohonan, dan evolusi yang menyusul berupa berdiri tegak. Kera-kera ini ketika
bergerak di dataran mulai meninggalkan kebiasaan menggunakan tangan mereka dan
mengadopsi sikap yang semakin lama semakin tegak. Inilah langkah yang
menentukan dalam peralihan dari kera menuju manusia. Posisi berdiri tegak
membebaskan tangan untuk menggunakan alat,
meningkatkan kecerdasan dan baru kemudian datang kemampuan berbicara.
Biologi molekuler menunjukkan bahwa spesies hominid yang paling
awal muncul sekitar 5 juta tahun lalu, dalam bentuk kera bipedal dengan lengan
yang panjang dan jari yang melengkung. Proto-manusia ini, Australopithecus,
memiliki otak yang kecil, hanya 400 cc. Lompatan kualitatif terjadi pada Homo
habilis, yang memiliki ukuran otak lebih dari 600 cc - satu peningkatan yang
drastis, 50%. Kemajuan besar berikutnya adalah Homo erectus, dengan ukuran otak
antara 850 dan 1100 cc. Sampai kemunculan Homo sapiens sekitar 100.000 tahun
lalu, ukuran otak belum mencapai tingkat seperti yang sekarang - 1350 cc. Maka,
hominid-hominid awal tidaklah memiliki ukuran otak yang besar. Evolusi manusia
tidaklah didorong oleh otak. Sebaliknya, ukuran otak yang membesar adalah hasil
dari evolusi manusia, khususnya pembuatan alat. Lompatan kualitatif dalam
ukuran otak terjadi pada Homo habilis ("si tukang") dan jelas-jelas
terkait dengan pembuatan alat batu. Sesungguhnya satu lompatan kualitatif baru
terjadi pada transisi dari Homo erectus menuju Homo sapiens. Pikiran manusia
muncul di bumi ini dengan kemendadakan yang mengejutkan, tulis John McCrone.
Hanya dalam waktu 70.000 tahun (tidak
sampai sekejap mata dalam skala geologis) adalah
seluruh waktu yang diperlukan untuk peralihan nenek moyang kita dari kera
cerdas menjadi Homo sapiens yang memiliki kesadaran diri. Di sisi
perbatasan evolusioner ini berdirilah Homo erectus, satu mahluk cerdas dengan
otak hampir sebesar otak manusia modern, satu kebudayaan alat sederhana dan
penguasaan atas api namun secara mental masih sangat lemah. Pada
sisi yang sebelah sini berdirilah Homo sapiens dengan ritual dan kesenian
simboliknya lukisan gua, manik-manik dan gelang-gelang, lampu-lampu hias dan
kuburan yang menandai kedatangan satu pikiran yang sadar diri.
Namun, apabila kita menilik kepada literatur-literatur
yang berkaitan dengan masalah antropologi, maka akan tampak sekali
keragu-raguan dari para ahli antropologi sendiri, apakah Homo Sapiens itu
benar-benar berasal dari Pithecanthropus atau Sinanthropus. Dimana, ketika
teori evolusi yang dipelopori oleh Charles Robert Darwin (1809-1882)
mengatakan: “Suatu benda (bahan) mengalami perubahan dari yang tidak sempurna
menuju kepada kesempurnaan.”, kemudian ia memperluas teorinya ini hingga sampai
kepada asal-usul manusia, Darwin sendiri kebingungan karena ada beberapa jenis
tumbuhan yang tidak mengalami evolusi dan tetap dalam keadaan seperti semula.
Hal ini
diantaranya merupakan kelemahan teori yang dikemukakan oleh Darwin, karena
tidak ada titik temu antara teori yangada dengan kenyataan. Sebagai contoh,
para ahli zoologi sangat akrab dengan suatu species yang bernama panchrinic
yang tetap sama sepanjang masa. Juga ganggang biru yang diperkirakan telah ada
lebih dari satu milyar tahun namun hingga sekarang tetap sama. Yang lebih jelas
lagi adalah hewan sejenis biawak/komodo yang telah ada sejak berjuta-juta tahun
yang lalu dan hingga kini tetap ada serta tidak mengalami perubahan.
Masalah lain terkait pandangan Darwin tentang “asal-usul
manusia” seperti yang ditulis dalam Los Angeles Time, adalah sesuatu yang
didasarkan pada begitu sedikit “bukti”, hanya satu biji gigi, potongan kecil
tulang paha dan hanya ada tiga atau empat rangka yangtersedia untuk melacak
seluruh pembelajaran tentang evolusi manusia (Los Angeles Time, ibid, hal A18).
Hal ini berarti bahwa penemuan kerangka fosil “baru” yang menjadi keseluruhan
dasar untuk teori evolusi tentang “asal-usul manusia” nampaksangat miskin
“bukti”, “bukti” yang sangat lemah dan sangat sedikit untuk suatu teori yang
dipegang secara luas.
Berdasarkan berbagai pertimbangan, maka para ahli
mengambil kesimpulan bahwa Pithecanthropus dan Sinanthropus bukanlah asal
(nenek moyang) dari Homo Sapiens (manusia), tetapi keduanya adalah makhluk yang
berkembang dengan bentuk pendahuluan yang mirip manusia kemudian musnah atau
punah.
Manakah anggapan yang benar? Maka sebagain besar
tergantung dari sudut pandang yang melihat. Seperti halnya perbedaan pendirian
Ptolomeus dan Copernicus. Posisi matahari yang berbeda dalam hubungannya dengan
bumi, yang satu memandang matahari yang mengelilingi bumi, sedangkan yang lain
menganggap bumi yang mengelilingi matahari. Dari polemik inilah maka muncul
juga pernyataan bahwa manusia ada karena diciptakan (adanya Intellegent
desaign). Pernyataan ini berkembaang pada zaman Skolastik periode Skolastik
Timur, madzhab pemikiran ketiga yang disebut Kalam Ashari.
Referensi:
Achmadi,
Asmoro. 2007. Filsafat umum. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Bernadien, Win Usuluddin. 2011. Membuka Gerbang Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hadiwijono,
Harun. 2010. Sari sejarah Filsafat 1.
Yogyakarta: Kanisius
Hadiwijono,
Harun. 2011. Sari Sejarah Filsafat 2.
Yogyakarta: Kanisius
Kattsoff, Louis O. 1996. Pengantar
Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana
Maryono, Irawan et al. 1982. Pencerminan
Nilai Budaya dalam Arsitektur di Indonesia. Jakarta. Penerbit Djambatan
Munir, Misnal
dan Mustansyir, Rizal. 2012. Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rapoport, Amos. 1969. House
Form and Culture. Prentise Hall Inc. Englewood Cliffs. NJ
Stephen W.
Hawking. 2002. The Theory Of Everything:
The Origin And Fate Of The Universe. New Millenium Press
Sularto,
Robi. 1993. Makalah Semiloka: Kontekstualisme dalam Desain Arsitektur dan
Urban, Yogyakarta: IAI
Tafsir,
Ahmad. 2010. Filsafat Umum, Akal dan Hati
Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wood,
Alan S&Ted, Gran. 1993. Marxism and
Darwinsm, Reason in Revolt.
London: Marxism and Modern Science
Yoshizumi,
Febriani Bebi. 2010. Makalah asal-asul
manusia. http://bebibandel.blogspot.com/2010/02/makalah-asal-usul-manusia.html
0 komentar:
Posting Komentar