Pemerintah mengatakan pembangunan gedung sekolah
yang aman merupakan prioritas dalam pengurangan risiko bencana alam. Beberapa
dari bencana alam terburuk di dunia pada dekade terakhir terjadi di Asia,
seperti gempa bumi di Indonesia dan Tiongkok, serta banjir di Thailand dan
Kamboja. Sebuah konferensi regional mengenai pengurangan risiko bencana yang
diselenggarakan minggu ini fokus pada sekolah dan bagaimana membuatnya lebih
aman dan lebih tangguh.
Murid-murid Sekolah Dasar Negeri Jejeran di
Yogyakarta sedang mengadakan simulasi latihan gempa bumi (25/10/12). Mereka
berhamburan dari ruang kelas dengan memegang tas di atas kepala mereka.
Beberapa murid mengambil tandu dan peralatan pertolongan pertama pada
kecelakaan dan menolong teman sekelas yang ‘terluka’. Sesudah semua berkumpul
di halaman depan, seorang pemimpin murid membaca laporan bencana: Empat
meninggal, lima terluka, dan semua korban sudah dievakuasi.
Margiyanti, guru kelas empat di Jejeran, mengatakan bahwa gempa bumi 2006, yang mengakibatkan 2.900 gedung sekolah termasuk Jejeran rusak berat, mengajarkan masyarakat setempat mengenai pembangunan kembali dan pentingnya usaha pencegahan. Indonesia sangat rentan bencana alam sehingga anak-anak harus bersiap, ujar Margiyanti. Jika mereka ada di sekolah atau di rumah, mereka harus tahu apa yang mesti dilakukan, ujarnya.
Margiyanti, guru kelas empat di Jejeran, mengatakan bahwa gempa bumi 2006, yang mengakibatkan 2.900 gedung sekolah termasuk Jejeran rusak berat, mengajarkan masyarakat setempat mengenai pembangunan kembali dan pentingnya usaha pencegahan. Indonesia sangat rentan bencana alam sehingga anak-anak harus bersiap, ujar Margiyanti. Jika mereka ada di sekolah atau di rumah, mereka harus tahu apa yang mesti dilakukan, ujarnya.
Pada tahun 2010, Jejeran terlibat dalam kampanye
global untuk membuat sekolah-sekolah lebih aman dari bencana alam. Dengan uang
dari donor asing, program tersebut mencoba memperbaiki teknik konstruksi
bangunan sekolah dan menciptakan kurikulum yang menyiapkan murid untuk bencana.
Sementara itu, pemerintah Indonesia juga telah meluncurkan program untuk
merehabilitasi ribuan sekolah di seluruh negeri.
Musliar Kasim, Wakil Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, mengatakan hampir 200.000 sekolah memerlukan renovasi untuk dapat
memenuhi standar keamanan global. “Sekolah-sekolah yang ada sekarang sudah tua.
Bangunannya tua karena didirikan lebih dari 30 tahun lalu,” ujar Kasim. “Jadi
mereka memerlukan renovasi. Saat merehabilitasi gedung, kita harus menggunakan
konsep sekolah aman.”
Para pejabat dan pekerja program bantuan
mengatakan pemerintah-pemerintah di seluruh wilayah Asia telah membuat kemajuan
dalam mengurangi risiko terkait bencana lingkungan. Kamboja, Laos, Filipina dan
Burma telah meluncurkan proyek-proyek pilot yang fokus pada pembangunan sekolah
yang lebih aman. Namun masih banyak yang harus dilakukan.
Pada tahun 2008, lebih dari 7.000 bangunan sekolah
yang dibangun secara asal ambruk saat gempa berkekuatan 7,9 skala Richter di
Provinsi Sichuan di Tiongkok, menewaskan ribuan murid. Di Filipina, angin topan
Durian menyebabkan kerusakan senilai US$20 juta di sekolah-sekolah di tiga
provinsi pada tahun 2006. Meski konstruksi yang lebih baik adalah jantung dari
inisiatif sekolah aman, banyak organisasi yang mendorong pendekatan yang lebih
luas yang termasuk latihan dan pengetahuan situasi darurat yang mengintegrasikan
pendidikan kebencanaan.
Di negara berkembang dengan populasi anak-anak
yang tinggi, murid-murid seringkali terimbas ketika bencana alam menghancurkan
sekolah, dan aktivitas belajar mengajar dihentikan selama beberapa bulan atau
lebih lama lagi.
Antony Spalton, spesialis pengurangan risiko dari
Dana PBB untuk Anak-Anak (UNICEF), mengatakan ada hubungan erat antara bahaya
dan pembangunan, apakah itu pembangunan ekonomi atau pembangunan sosial. “Anak-anak
dipaksa keluar sekolah karena banjir dan gempa bumi,” ujarnya.
UNICEF sekarang bekerja sama dengan sejumlah
organisasi internasional untuk menciptakan tempat dimana pemerintah bisa
mendapatkan bantuan teknis mengenai keamanan sekolah dan berbagi pengetahuan.
Lebih dari selusin murid dari seluruh wilayah Asia
menghadiri konferensi minggu ini untuk membagi pengalaman mereka. Di Jepang,
sekelompok murid telah membentuk klub yang bertemu seminggu sekali untuk
membahas cara-cara meningkatkan kesadaran mengenai bencana alam dan pembangunan
kembali.
Di Kamboja, Sopaoeurn yang berusia 17 tahun juga
membentuk komite manajemen bencana, memimpin inisiatif penanaman pohon dan
mendorong sekolah untuk membuat lantai lebih tinggi untuk mencegah banjir
bandang yang sering melanda provinsi tempat tinggalnya.
Bencana tidak hanya berdampak pada satu orang,
namun banyak orang di seluruh dunia, ujar remaja putri tersebut. Lebih penting
lagi, bencana berdampak pada murid-murid sekolah. Para guru di SDN Jejeran mengatakan
mereka siap jika bencana datang lagi. Sekolah tersebut mengadakan latihan
secara rutin setiap beberapa bulan sekali untuk menyegarkan kemampuan siswa. Di
ruang kelas sudah terpampang tanda-tanda jalur evakuasi.
Sekolah seperti ini masih jarang di negara
berkembang, akibat kurangnya pendanaan dan koordinasi yang membuat replikasi
program serupa sulit dilakukan. Namun kelompok donor mengatakan mereka membuat
kemajuan dengan menyoroti kisah sukses.
Para pejabat lembaga manajemen bencana nasional
Indonesia mengatakan membuat sekolah aman adalah prioritas mereka, karena
bangunan yang kukuh dan tangguh sangat penting dalam mengajarkan murid, dan
seluruh masyarakat, mengenai bagaimana bersiap dan berurusan dengan bencana di
masa depan.
0 komentar:
Posting Komentar