Minggu, 15 Desember 2013

MENSIKAPI KONTROVERSI ENZIM BABI DALAM OBAT

Akhir-akhir ini banyak diberitakan oleh media massa bahwa terdapat obat yang mengandung enzim dari babi. Hal ini tentu saja sedikit banyak telah menimbulkan keresahan di masyarakat, terutama bagi kaum muslimin. Bagi kaum muslimin, babi merupakan salah satu hewan yang diharamkan untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, apabila ada obat yang mengandung enzim dari babi ini tentu saja akan menimbulkan kontroversi bagi pasien dan mayarakat pada umumnya.

Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak ahli obat (farmakolog) untuk segera menemukan zat lain sebagai pengganti beberapa enzim seperti enzim babi yang digunakan dalam pembuatan beberapa jenis vaksin seperti pada vaksin polio dan meningitis agar tidak meresahkan kaum muslim.

Sebelumnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengatakan bahwa penggunaan enzim babi pada obat tertentu ini dilakukan karena belum ada penggantinya. Hanya segelintir obat yang bermasalah (mengandung enzim babi) seperti beberapa obat pengencer darah dan beberapa jenis vaksin hal ini karena hingga saat ini belum ditemukan pengganti enzim tersebut.

Suatu obat tidak dihasilkan dengan proses sebentar. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun dan dana yang tidak sedikit untuk menghasilkan satu macam obat. Bahan baku obat juga tidak semuanya bisa diperoleh dari bahan di luar babi. Padahal, ramuan obat tidak berhasil jika kekurangan satu macam saja bahan baku.

Misalnya enzim tripsin yang digunakan sebagai katalisator. Katalisator adalah zat yang digunakan untuk mempercepat reaksi tanpa zat tersebut ikut bereaksi. Enzim ini juga berguna sebagai komponen yang memudahkan pencampuran antar-komponen obat. Tripsin dengan kualitas baik, sampai saat ini, masih diperoleh dari pankreas babi.

Tripsin memang bisa dihasilkan dari sapi. Namun, kualitas tripsin sapi tidak sebaik yang berasal dari babi. Akibatnya, obat tersebut besar kemungkinannya gagal diproduksi. Kegagalan produksi obat tentu akan menimbulkan permasalahan bagi kesehatan masyarakat Indonesia.

 IDI juga mengatakan para dokter berusaha memberikan informasi pada pasien terkait adanya kandungan enzim yang tidak halal dalam obat sehingga pasien dapat mengambil keputusannya sendiri, meski begitu tidak semua dokter mengetahui secara pasti semua kandungan pada obat. 

Menanggapi hal ini, MUI mengatakan pada saat terdesak boleh mengonsumsi obat yang mengandung enzim tersebut, namun harus dikaji terlebih dahulu, sehingga masyarakat diimbau untuk mengutamakan obat yang halal. Minimnya informasi halal yang tertera pada obat menyulitkan pihak dokter maupun konsumen dalam mengonsumsi sebuah obat.

Bila berkaca dari situasi ini, menurut dr. Masfar-Ketua Bidang Kajian Obat dan Farmakoterapi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), mengatakan bahwa tidak pada tempatnya bila mempersoalkan status kehalalan obat. "Kalau masyarakat takut dan khawatir lantas beralih pada pengobatan alternatif, apa malah tidak berbahaya? Kandungan zat aktif dan efektivitas pengobatan alternatif belum terbukti secara empiris. Risikonya sangat besar bila masyarakat justru memilih pengobatan yang belum teruji kelayakannya (evident base)," katanya. 
   
Meski begitu, lanjut Masfar, dokter tidak berada dalam posisi menghalalkan atau mengharamkan suatu obat. Hal ini menyebabkan dokter wajib memberi tahu pasien apa saja kandungan dalam obat tersebut walau pada beberapa obat, kata Masfar, sudah dituliskan kandungan babi dalam kemasannya.

"Dokter dalam pengobatan hanya sebagai pengguna, bukan sebagai produsen layaknya farmasi. Namun, tetap saja kita akan memberitahukan kepada pasien apa saja yang menjadi kandungan obat. Selanjutnya pasien yang nantinya akan memutuskan," kata Masfar.


Sumber: Antara dan kompas




0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Facebook Themes