Akhir-akhir ini banyak diberitakan oleh media massa bahwa
terdapat obat yang mengandung enzim dari babi. Hal ini tentu saja sedikit
banyak telah menimbulkan keresahan di masyarakat, terutama bagi kaum muslimin. Bagi
kaum muslimin, babi merupakan salah satu hewan yang diharamkan untuk
dikonsumsi. Oleh karena itu, apabila ada obat yang mengandung enzim dari babi
ini tentu saja akan menimbulkan kontroversi bagi pasien dan mayarakat pada
umumnya.
Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak ahli obat
(farmakolog) untuk segera menemukan zat lain sebagai pengganti beberapa enzim
seperti enzim babi yang digunakan dalam pembuatan beberapa jenis vaksin seperti
pada vaksin polio dan meningitis agar tidak meresahkan kaum muslim.
Sebelumnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengatakan bahwa penggunaan
enzim babi pada obat tertentu ini dilakukan karena belum ada penggantinya. Hanya
segelintir obat yang bermasalah (mengandung enzim babi) seperti beberapa obat
pengencer darah dan beberapa jenis vaksin hal ini karena hingga saat ini belum
ditemukan pengganti enzim tersebut.
Suatu obat tidak dihasilkan dengan proses sebentar. Dibutuhkan
waktu bertahun-tahun dan dana yang tidak sedikit untuk menghasilkan satu macam
obat. Bahan baku obat juga tidak semuanya bisa diperoleh dari bahan di luar
babi. Padahal, ramuan obat tidak berhasil jika kekurangan satu macam saja bahan
baku.
Misalnya enzim tripsin yang digunakan sebagai katalisator.
Katalisator adalah zat yang digunakan untuk mempercepat reaksi tanpa zat
tersebut ikut bereaksi. Enzim ini juga berguna sebagai komponen yang memudahkan
pencampuran antar-komponen obat. Tripsin dengan kualitas baik, sampai saat ini,
masih diperoleh dari pankreas babi.
Tripsin memang bisa dihasilkan dari sapi. Namun, kualitas
tripsin sapi tidak sebaik yang berasal dari babi. Akibatnya, obat tersebut
besar kemungkinannya gagal diproduksi. Kegagalan produksi obat tentu akan
menimbulkan permasalahan bagi kesehatan masyarakat Indonesia.
IDI juga mengatakan
para dokter berusaha memberikan informasi pada pasien terkait adanya kandungan
enzim yang tidak halal dalam obat sehingga pasien dapat mengambil keputusannya
sendiri, meski begitu tidak semua dokter mengetahui secara pasti semua
kandungan pada obat.
Menanggapi hal ini, MUI mengatakan pada saat terdesak boleh
mengonsumsi obat yang mengandung enzim tersebut, namun harus dikaji terlebih
dahulu, sehingga masyarakat diimbau untuk mengutamakan obat yang halal. Minimnya
informasi halal yang tertera pada obat menyulitkan pihak dokter maupun konsumen
dalam mengonsumsi sebuah obat.
Bila berkaca dari situasi ini, menurut dr. Masfar-Ketua
Bidang Kajian Obat dan Farmakoterapi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
(PB-IDI), mengatakan bahwa tidak pada tempatnya bila mempersoalkan status
kehalalan obat. "Kalau masyarakat takut dan khawatir lantas beralih pada
pengobatan alternatif, apa malah tidak berbahaya? Kandungan zat aktif dan
efektivitas pengobatan alternatif belum terbukti secara empiris. Risikonya
sangat besar bila masyarakat justru memilih pengobatan yang belum teruji
kelayakannya (evident base)," katanya.
Meski begitu, lanjut Masfar, dokter tidak berada dalam
posisi menghalalkan atau mengharamkan suatu obat. Hal ini menyebabkan dokter
wajib memberi tahu pasien apa saja kandungan dalam obat tersebut walau pada
beberapa obat, kata Masfar, sudah dituliskan kandungan babi dalam kemasannya.
"Dokter dalam pengobatan hanya sebagai pengguna, bukan
sebagai produsen layaknya farmasi. Namun, tetap saja kita akan memberitahukan
kepada pasien apa saja yang menjadi kandungan obat. Selanjutnya pasien yang nantinya
akan memutuskan," kata Masfar.
Sumber: Antara dan kompas
0 komentar:
Posting Komentar