Aktivitas berasal dari kata dasar
”aktif” yang berarti giat; dinamis; atau bertenaga.[1] Aktivitas belajar biologi
dalam hal ini adalah kegiatan yang dilakukan siswa dalam proses pembelajaran
biologi. Dalam proses pembelajaran, aktivitas merupakan prinsip yang sangat
penting, karena pembelajaran tidak akan pernah ada tanpa adanya aktivitas belajar.
Sebagai rasionalitasnya hal ini juga mendapat pengakuan dari berbagai ahli
pendidikan.
Frobel mengatakan bahwa manusia
adalah sebagai pencipta yang kedua (setelah Tuhan). Secara alami siswa memang
ada dorongan untuk mencipta. Anak (dalam hal ini siswa) adalah suatu organisme
yang berkembang dari dalam. Prinsip utama yang dikemukakan Frobel bahwa siswa
itu harus bekerja sendiri, yang kemudian muncul semboyan ”berpikir dan
berbuat”. Di dalam proses pembelajaran, aktivitas berpikir dan berbuat tersebut
tidak dapat dipisahkan.
Sementara itu, Montessori juga
menegaskan bahwa siswa memiliki tenaga untuk berkembang sendiri. Pendidik akan
berperan sebagai pembimbing dan mengamati perkembangan siswa-siswanya.
Pernyataan Montessori tersebut menujukkan bahwa yang lebih banyak melakukan
aktivitas di dalam pembentukan diri adalah siswa itu sendiri.
Rosseau memberikan penjelasan
bahwa dalam proses pembelajaran, segala pengetahuan itu harus diperoleh dengan
pengamatan sendiri, pengalaman sendiri, penyelidikan sendiri, dengan bekerja
sendiri, dengan fasilitas yang diciptakan sendiri, baik secara rohani maupun
teknis. Tanpa ada aktivitas, proses pembelajaran tidak mungkin terjadi.[2] Dengan demikian, aktivitas
siswa sangat diperlukan dalam proses pembelajaran.
Siswa seharusnya lebih banyak
aktif karena siswa sebagai subjek didik yang akan merencanakan sekaligus
melaksanakan pembelajaran. Dalam hal ini, John Dewey mengungkapkan pentingnya
aktivitas belajar siswa dalam metode proyeknya dengan semboyan learning by doing (belajar dengan
melakukan). Bahkan jauh sebelumnya para tokoh ppendidikan seperti Frobel,
Montessory, Rousseau, dan Pestalozi telah mendukung prinsip aktivitas dalam
pembelajaran.[3]
Aktivitas belajar siswa yang
dimaksud adalah aktivitas fisik maupun aktivitas mental. Banyak macam aktivitas
belajar yang dapat dilakukan siswa, tidak hanya sekedar mendengarkan dan
mencatat seperti pada pembelajaran konvensional. Menurut Paul B. Diedrich,
aktivitas belajar siswa dapat dibagi menjadi delapan hal yaitu:
a. Aktivitas visual (visual activities), seperti membaca,
memperhatikan gambar, demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain, dan
sebagainya.
b. Aktivitas berbicara (oral activities), seperti menyatakan,
merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, wawancara, diskusi,
interupsi, dan sebagainya.
c. Aktivitas mendengarkan (listening activities), seperti
mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato, dan sebagainya.
d. Aktivitas menulis (writing activities), seperti menulis
cerita, karangan, tes, angket, menyalin dan sebagainya.
e. Aktivitas menggambar (drawing activieties), seperti
menggambar, membuat grafik, peta, diagram, pola, dan sebagainya.
f. Aktivitas gerak (motor activities), seperti melakukan
percobaan, membuat konstruksi, model, mereparasi, bermain, berkebun, memelihara
binatang, dan sebagainya.
g. Aktivitas mental (mental activities), seperti menanggapi,
mengingat, memecahkan masalah, menganalisis, melihat hubungan, mengambil
keputusan, dan sebagainya.
h. Aktivitas emosi (emotional activities), seperti menaruh
minat, merasa bosan, gembira, berani, tenang, gugup, dan sebagainya.
Aktivitas-aktivitas tersebut
tidak terpisah satu sama lain. Di dalam setiap metode pembelajaran terdapat
macam-macam kegiatan, akan tetapi tidak semua metode memberi kegiatan yang sama
banyaknya. Pada umumnya metode ceramah tidak menimbulkan aktivitas yang banyak.
Metode yang dapat membangkitkan aktivitas siswa misalnya diskusi, sosiodrama,
praktikum, kerja kelompok, dan metode proyek.[4]
Aktivitas belajar siswa banyak
dipengaruhi oleh kegiatan mangajar guru. Misalnya jika guru mengajar dengan
metode ceramah, maka aktivitas siswa tidak banyak. Mereka hanya mendengarkan
uraian guru dan jika perlu mencatatnya. Namun, apabila guru mengajar dengan
metode bertanya atau menyajikan masalah untuk dipecahkan siswa, maka siswa akan
lebih aktif, seperti berdiskusi, berdialog dengan teman sebangku dan lain
sebagainya. Ciri-ciri pembelajaran yang berhasil salah satunya dapat dilihat
dari kadar aktivitas belajar siswa. Semakin tinggi aktivitas belajar siswa,
maka semakin besar peluang berhasilnya pembelajaran.[5]
Aktivitas belajar siswa dapat
dibedakan menjadi tiga kategori yaitu:
a. Aktivitas
belajar mandiri, artinya
setiap siswa mengerjakan atau melakukan kegiatan belajar masing-masing.
Misalnya setiap siswa diberi tugas untuk memecahkan persoalan yang diberikan
oleh guru. Dalam proses belajarnya, setiap siswa dituntut mengerjakan tugasnya
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Implikasinya, guru harus banyak
memberikan perhatian dan pelayanan secara individual.
b.
Aktivitas belajar kelompok, artinya siswa melakukan
kegiatan belajar dalam kelompok. Misalnya diskusi memecahkan masalah. Guru
harus mengajukan beberapa masalah yang harus dipecahkan siswa dalam satuan
kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 3-5 siswa. Guru akan mengawasi dan
membimbing setiap kelompok, sedangkan siswa berpartisipasi memecahkan persoalan
tersebut dengan kelompoknya.
c.
Aktivitas belajar klasikal, artinya semua siswa dalam waktu
yang sama melakukan kegiatan belajar yang sama. Misalnya apabila guru
menggunakan metode ceramah. Siswa akan menanggapi secara berbeda-beda meskipun
materi yang disajikan sama.[6]
Aktivitas siswa dapat dijadikan
sebagai salah satu kriteria dalam penilaian proses pembelajaran. Secara umum
keberhasilan proses pembelajaran dapat dilihat dari efisiensi, keefektifan,
relevansi, dan produktivitas dalam mencapai tujuan-tujuan pembelajaran.
Penilaian proses pembelajaran terutama adalah melihat sejauh mana keaktifan
siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Aktivitas siswa tersebut dapat
dilihat dalam hal:
a.
Turut serta
dalam melaksanakan tugas belajarnya.
b.
Terlibat
dalam pemecahan masalah.
c. Bertanya
kepada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami persoalan yang
dihadapi.
d. Berusaha
mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.
e.
Melaksanakan
diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru.
f.
Menilai
kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya.
g.
Melatih diri
dalam memecahkan soal atau masalah sejenis.
h. Kesempatan
menerapkan apa yang telah diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan
yang dihadapinya.[7]
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi digital, 2010,
http://ebsoft.web.id
[2] Sardiman, A.M, Interaksi dan
Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 96.
[3] Moh. User Usman, Menjadi Guru
Profesional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 22.
[4] Nasution, Didaktik Asas-Asas
Mengajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 91-92.
[5] Nana Sudjana, Dasar-dasar
Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru, 1989), hlm. 72.
[6] Nana Sudjana, Dasar-dasar
Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru, 1989), hlm. 72.
[7] Nana Sudjana, Penilaian Hasil
Proses Belajar Mengajar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 61.
0 komentar:
Posting Komentar